Peduliwni.com – Warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, terutama sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI), seringkali menghadapi berbagai tantangan dan risiko, termasuk kasus-kasus penyiksaan yang mengerikan. Beberapa kasus penyiksaan yang menimpa TKI di Malaysia belakangan ini menjadi sorotan publik dan pemerintah Indonesia, yang menuntut perlindungan dan keadilan bagi para korban.
Salah satu kasus penyiksaan yang menggemparkan adalah kasus MH, TKI asal Cirebon, Jawa Barat, yang di selamatkan oleh polisi Malaysia pada November 2021. MH di temukan dengan kondisi luka di seluruh tubuhnya, akibat disiksa oleh majikannya dengan benda-benda tajam dan panas, seperti pisau, gunting, kursi, tongkat rotan, dan pot. MH juga di biarkan tidur di teras rumah tanpa di beri makan selama delapan hari1.
Kasus lain yang mengejutkan adalah kasus Suyanti, TKI asal Sumatera Utara, yang di siksa oleh majikannya, Datin Rozita Mohamad Ali, di Petaling Jaya, Malaysia, pada Desember 2016. Suyanti mengalami luka parah di wajah, mata, leher, dada, dan tangan, akibat dipukuli, di cambuk, dan di tusuk dengan pisau dapur, gunting, payung, dan gantungan baju oleh majikannya. Suyanti juga di siram dengan air panas dan air keras.
Kasus Penyiksaan TKI di Malaysia, Beginilah Penyebabnya
Kasus-kasus penyiksaan terhadap TKI di Malaysia bukanlah hal baru. Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, sejak 2004 hingga 2021, terdapat 1.021 kasus kekerasan terhadap TKI di Malaysia, yang meliputi penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, dan pembunuhan. Dari jumlah tersebut, 188 kasus terjadi pada tahun 2021, yang menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap TKI di Malaysia.
Penyebab Adanya Berbagai Kasus Penyiksaan Terhadap TKI di Malaysia
Mengapa kasus-kasus penyiksaan terhadap TKI di Malaysia terus berulang? Apa penyebabnya? Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena tersebut:
1. Faktor Hukum
Malaysia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perlindungan dan hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk TKI. Pekerja rumah tangga masih di anggap sebagai pekerja informal yang tidak tercakup oleh undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Malaysia.
Akibatnya, pekerja rumah tangga tidak memiliki jaminan upah minimum, jam kerja, hari libur, cuti sakit, asuransi, dan perlindungan sosial. Selain itu, proses penegakan hukum dan peradilan bagi kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga seringkali berjalan lambat, tidak transparan, dan tidak adil.
Beberapa kasus bahkan tidak di tindaklanjuti atau di hentikan oleh pihak berwenang. Seperti kasus Suyanti, yang pelakunya di bebaskan dari hukuman penjara dengan jaminan.
2. Faktor Sosial
Pekerja rumah tangga, terutama yang berasal dari negara-negara berkembang seperti Indonesia, seringkali mengalami diskriminasi, stigma, dan stereotip negatif dari masyarakat Malaysia. Mereka di anggap sebagai pekerja rendahan, tidak berpendidikan, tidak berbudaya, dan tidak berhak mendapatkan perlakuan yang baik.
Mereka juga seringkali diisolasi, dikucilkan, dan diperlakukan sebagai barang milik oleh majikan mereka. Hal ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi.
3. Faktor Ekonomi
Banyak TKI yang bekerja di Malaysia karena alasan ekonomi, yaitu untuk mencari penghasilan yang lebih baik dan membantu keluarga di Indonesia. Namun, banyak TKI yang tidak memiliki keterampilan, pendidikan, dan sertifikat yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Mereka juga seringkali tidak memiliki informasi yang cukup tentang hak-hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja rumah tangga. Akibatnya, mereka mudah tertipu oleh agen-agen perekrut yang menjanjikan gaji tinggi, fasilitas lengkap, dan perlindungan hukum, tetapi ternyata menjerumuskan mereka ke dalam kondisi kerja yang buruk, tidak manusiawi, dan berbahaya.
4. Faktor Psikologis
Banyak TKI yang bekerja di Malaysia mengalami stres, depresi, dan trauma akibat kondisi kerja yang berat, lingkungan yang asing, dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari majikan mereka. Mereka juga seringkali tidak memiliki dukungan sosial, teman, atau keluarga yang dapat membantu mereka mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi.
Bagaimana Cara Mengatasi Kasus-Kasus Penyiksaan Ini?
1. Memperkuat kerjasama bilateral antara Indonesia dan Malaysia dalam bidang perlindungan dan pelayanan konsuler bagi WNI di Malaysia. Hal ini dapat di lakukan dengan merevisi dan memperbarui nota kesepakatan (MoU) antara kedua negara yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI, yang sudah berlaku sejak 2006.
MoU ini perlu di sesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan saat ini, serta mengatur secara lebih jelas dan rinci tentang hak-hak dan kewajiban TKI, standar dan mekanisme perekrutan, pengawasan dan penegakan hukum, serta penyelesaian sengketa dan kasus-kasus kekerasan.
2. Mendorong Malaysia untuk mengesahkan undang-undang khusus yang mengatur perlindungan dan hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk TKI. Saat ini, Malaysia belum memiliki undang-undang semacam itu, sehingga pekerja rumah tangga tidak tercakup oleh undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku di Malaysia.
Hal ini membuat mereka tidak memiliki jaminan upah minimum, jam kerja, hari libur, cuti sakit, asuransi, dan perlindungan sosial. Selain itu, proses penegakan hukum dan peradilan bagi kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga seringkali berjalan lambat, tidak transparan, dan tidak adil.
3. Meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan konsuler bagi WNI di Malaysia, khususnya TKI. Hal ini dapat di lakukan dengan menambah jumlah dan kinerja staf konsuler. Memperluas jangkauan dan akses pelayanan konsuler, serta mempercepat dan mempermudah proses pengurusan dokumen, pengaduan, dan bantuan bagi WNI di Malaysia.