Peduliwni – Dalam sorotan demokrasi Pemilu di Luar Negeri, terdapat narasi yang tak terdengar dari sebagian warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, yang menghadapi kendala dalam menyalurkan hak suaranya. Kisah ini bukan hanya tentang kesalahan administratif, melainkan juga tentang harapan dan kekecewaan.
Pengalaman Lia Ratna: Terdaftar tapi Tak Bisa Memilih pada Pemilu di Luar Negeri
Seharusnya, Pemilihan Umum 2024 menjadi ajang partisipasi ketiga bagi Lia Ratna, seorang perempuan berusia 30 tahun yang kini menetap di Papua Nugini. Namun, apa yang di harapkan tidak sesuai dengan realita yang di hadapi.
“Saya tidak dapat menggunakan hak pilih saya. Meskipun saya telah terdaftar, saya di beritahu bahwa tidak ada surat suara yang tersedia,” ungkap Lia dengan nada kecewa.
Lia, pemegang KTP Denpasar, telah menetap di Kota Lae, Papua Nugini, sejak akhir Oktober 2023. Ketika tiba saatnya untuk mendaftar dalam pemilu, ia mengirimkan salinan KTP-nya dengan penuh harapan. Namun, tidak ada konfirmasi lebih lanjut yang ia terima, dan ia berasumsi bahwa proses pendaftarannya telah selesai.
Hari Pemilihan: Antara Harapan dan Realitas
Ketika informasi tentang pelaksanaan pemilu mulai beredar di grup WhatsApp komunitas WNI di Kota Lae, Lia menyadari bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih.
“Saya mencoba mencari tahu lebih lanjut, tetapi bahkan teman saya yang telah lama tinggal di sini juga tidak terdaftar, tanpa alasan yang jelas,” tutur Lia dengan rasa frustrasi.
Pada hari pemilihan, Lia tetap berusaha mendatangi tempat pemungutan suara dengan harapan dapat bertemu dengan sesama WNI dan mungkin perwakilan diplomatik Indonesia. Namun, tidak ada perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia yang hadir. Dan pengelolaan surat suara di serahkan kepada pihak lokal yang dipercaya.
“Sayangnya, hampir setengah dari surat suara tidak di gunakan karena banyak yang tidak hadir. Namun, kami yang tidak terdaftar tidak diperkenankan menggunakan surat suara tersebut,” jelas Lia.
Dia di beri saran untuk mencoblos di Port Moresby pada tanggal yang telah di tentukan, tetapi hal itu tidak memungkinkan bagi Lia karena biaya perjalanan yang mahal dan tanggung jawab pekerjaannya.
Refleksi: Diaspora dan Hak Demokratis
Pemilu di Luar Negeri, Lia, yang telah aktif melakukan riset tentang calon yang akan di pilihnya, merasa sangat kecewa dan sedih dengan situasi ini. Cerita Lia merefleksikan tantangan yang di hadapi oleh sebagian diaspora Indonesia dalam mengekspresikan hak demokratis mereka. Sebuah realitas yang sering terlupakan dalam narasi pemilu.
Keterkejutan melanda saat saya menyadari, untuk pertama kalinya, saya tidak akan menjadi bagian dari perayaan demokrasi ini. Kekhawatiran pun menyusul, mengingat nama saya tercatat di Denpasar dan telah di tetapkan sebagai pemilih yang tidak hadir. Ada rasa cemas bahwa hak suara saya mungkin di salahgunakan.
Fakta dari Kedutaan: Jumlah WNI Terdaftar di Papua Nugini
Dari kejauhan Papua Nugini, sebanyak 1.317 Warga Negara Indonesia terdaftar di Kedutaan Besar Republik Indonesia, sebuah fakta yang di laporkan oleh Antara pada 15 Januari 2024.
Untuk memperbaiki artikel Anda dan memenuhi standar SEO, saya telah menambahkan heading H1 dan H2 yang sesuai. Berikut adalah versi yang di perbarui dari artikel Anda:
Kesulitan Pemungutan Suara di Belanda
Di Den Haag, yang terletak hampir 14.000 kilometer dari Papua Nugini, harapan Cinta, seorang pemuda berusia 20 tahun, untuk ikut serta dalam Pemilu 2024 pada Sabtu, 10 Februari, harus kandas. “Kami, para pemuda, terhalang untuk memilih karena masih terdaftar di Jakarta,” ungkap Cinta. Dia menambahkan, meski petugas memperkirakan kedatangan 15.000 pemilih, hanya tersedia tujuh Tempat Pemungutan Suara. Proses pemilihan berlangsung lama. “Seorang teman tiba di Den Haag pada pukul 12 siang dan belum kembali hingga pukul 19.30 malam,” jelas Cinta. Cinta mengakui kesalahan dirinya dan rekan-rekannya karena tidak memindahkan Daftar Pemilih Tetap ke Den Haag. Namun, yang lebih membingungkan adalah informasi yang kontradiktif dari panitia. “Setiap anggota panitia memberikan instruksi yang berbeda-beda,” kata Cinta.
Pengalaman Pemilih Indonesia di Jepang
Hendra Hermawan, 38 tahun, seorang pekerja di perusahaan elektronik, mengaku ketinggalan informasi tentang cara memilih dari luar negeri. Sejak Januari 2023, Hendra mengikuti pelatihan di Jepang dan mengatakan tidak mendapat informasi tentang pemilu dari media sosial kedutaan karena tidak mengikuti akun tersebut.
“Saya dan rekan-rekan tidak tahu bahwa di Jepang kita bisa memilih melalui pos, sehingga kami kehilangan kesempatan untuk menggunakan hak suara. ” kata Hendra, yang tinggal di Hirakata, Osaka, kepada Sri Lestari, wartawan BBC News Indonesia.
“Saya mengira pemilu akan dilaksanakan serentak dengan di Indonesia pada tanggal 14 Februari dan TPS hanya buka sampai jam makan siang. Juga Saya menyesal tidak bisa hadir untuk memilih, padahal suara kami cukup signifikan jumlahnya.”
Di Jepang, pemilih dapat mencoblos di TPS Sekolah Republik Indonesia Tokyo dari pukul 08.00 hingga 18.00 JST dan di TPS Konsulat Jenderal dari pukul 08.00-16.00 JST.